Karena Wartawan Bukan Intel

Membaca laporan Majalah Tempo, Edisi. 41/XXXV/04 – 10 Desember 2006 berjudul Karena Wartawan Bukan intel maka saya terpanggil untuk membaca kembali Kode Etik Jurnalistik.

Di Indonesia, saat ini kode etik jurnalistik yang berlaku secara umum adalah yang ditetapkan pada 14 Maret 2006. Kode Etik Jurnalistik tersebut dirumuskan oleh perwakilan dari 29 organisasi wartawan di Indonesia. Dalam kode etik tersebut pada Pasal 7 tertulis Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Nah tentu saja wartawan harus melindungi narasumber untuk menjaga kredibilitasnya. Apa yang dikutip Tempo dari pernyataan Jaksa Agung mengenai kewajiban semua warga negara melaporkan koruptor menjadi menarik. Apakah wartawan juga kena kewajiban itu?

Saya pribadi seharusnya wartawan tidak memiliki kewajiban itu. Kalau saya melaporkan posisi buronan kejaksaan ke pihak ke jaksaan, tentu saya tidak akan dipercaya narasumber. Jika saya menulis tentang buronan itu maka beritanya tidak berimbang. Jika mencantumkan pernyataan buronan, saya akan dipaksa melapor.

Yang jelas wartawan buka intel. Wartawan bukan bagian dari penegak hukum yang dibayar rakyat untuk memburu koruptor. Jadi ngapain aja kerja intel?

Kode Etik Jurnalistik

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006

Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia:

1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI); Abdul Manan
2. Aliansi Wartawan Independen (AWI); Alex Sutejo
3. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI); Uni Z Lubis
4. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI); OK. Syahyan Budiwahyu
5. Asosiasi Wartawan Kota (AWK); Dasmir Ali Malayoe
6. Federasi Serikat Pewarta; Masfendi
7. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI); Fowa’a Hia
8. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI); RE Hermawan S
9. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI); Syahril
10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI); Bekti Nugroho
11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAP HAMBA); Boyke M. Nainggolan
12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI); Kasmarios SmHk
13. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI); M. Suprapto
14. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI); Sakata Barus
15. Komite Wartawan Indonesia (KWI); Herman Sanggam
16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI); A.M. Syarifuddin
17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI); Hans Max Kawengian
18. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI); Hasnul Amar
19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI); Ismed Hasan Putro
20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI); Wina Armada Sukardi
21. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI); Andi A. Mallarangan
22. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK); Jaja Suparja Ramli
23. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI); Ramses Ramona S.
24. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI); Ev. Robinson Togap Siagian
25. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI); Rusli
26. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat; Mahtum Mastoem
27. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS); Laode Hazirun
28. Serikat Wartawan Indonesia (SWI); Daniel Chandra
29. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII); Gunarso Kusumodiningrat

Published by Asep Saefullah

Manusia biasa dari Bandung. Kini bekerja untuk Kantor Berita Pena indonesia ->www.penaindonesia.com

11 thoughts on “Karena Wartawan Bukan Intel

  1. Setuju, Kang Asep. Wartawan memang bukan intel.
    Tapi pada penjelasan UU Pers, disebutkan bahwa Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan Negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.

    Jadi kalau Jaksa Agung kemudian meminta penetapan Pengadilan untuk membatalkan hak tolak wartawan yang mewawancarai buronan itu, kemudian pengadilan setuju untuk menetapkan pembatalan hak tolak wartawan itu, maka wartawan itu kehilangan hak tolaknya.

    Ada dua kasus sehubungan dengan hak tolak:

    1. Pada tahun 1971, HB Jasin pernah disidang, karena sebagai pemimpin redaksi majalah sastra memuat cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” yang dianggap “menghina Tuhan dan Islam”. Meski Pengadilan kemudian memutuskan untuk menggugurkan hak tolak-nya, HB Jasin tetap tidak mau mengungkapkan identitas sebenarnya dari penulis cerpen itu. Akibatnya, HB Jasin dikenai sanksi 1,5 tahun penjara.

    2. Pengadilan pernah menolak menggugurkan hak tolak wartawan. Paling gres adalah dalam kasus Tempo Vs Tomy Winata. Pihak Tomy meminta agar pengadilan menggugurkan hak tolak Ahmad Taufik, wartawan Tempo, agar Ahmad Taufik mengungkapkan siapa narasumber tulisannya. Namun permintaan itu ditolak karena majelis berpendapat tidak ada alasan yang kuat berdasarkan ketentuan UU Pers untuk menggugurkan hak tolak Ahmad Taufik.

  2. Memang itu tercantum dalam Undang-undang Pers. Tapi kan masih lewat pengadilan. Setidaknya ada tahapan 🙂

    Kalau pada Kode Etik PWI, pada BAB I tentang KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS Pasal 1 tertulis:

    Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat kepada undang-undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara serta terpercaya dalam mengemban profesinya.

    Menarik kan…

  3. Memang Jaksa Agung kita ini bukan semakin “pintar” dalam menyikapi tanggungjawabnya dalam memberantas korupsi. Mungkin karena kejar “target” juga….. 🙂
    Sesekali minta dong para asosiasi jurnalis ini beraudiens dengannya…

  4. Saya mendukung bung arif sebagai penggagas IJB 🙂
    Blog juga karya cipta. Masa kalau media mengutip blog hanya mencantumkan (net) saja diakhir berita.

    Ayo IJB!!
    Berbagi pengetahuan dengan rangkaian kata..

  5. Aku pernah berkunjung ke TEMPO setahun silam. Mbak Hermien Y. Kleden yang menerima kami waktu itu sempat ditanya persoalan ini, lalu dia menjawab, “wartawan bukan intel atau polisi tapi dalam memburu berita harus lebih canggih dari intel”. Opini yang dilempar mas asep menarik didiskusikan. Tapi saya fikir nyambung juga tuch, wartawan adalah intel yang atasannya adalah rakyat, jadi sama-sama melakukan pengaduan dan melaporkan. jika intel ke atasannya kita kepublik tentunya.

    Jhellie maestro (Mataram)
    E-Mail: Jhelliemaestro@gmail.com
    Blog :http://penulismuda.wordpress.com

  6. wartawan memang bukan intel, tapi sistem kerja wartawan tidak jauh beda dengan intel, jadi setiap orang yang berprofesi sebagai wartawan harus mengerti hukum walaupun disiplin ilmunya bukan di bidang ilmu hukum, sosialisasi delik pers harus dilakukan dewan pers agar para wartawan tidak salah langkah dalam bertindak di lapangan

  7. Setuju wartawan itu bukan intel. Wartawan adalah pekerja profesional yang berpegang pada kode etik profesi. Jika wartawan melakukan pelanggaran di luar tugas profesi, dia akan terkena ancaman hukuman sesuai kitab undang hukum perdata/pidana (KUHP). Namun selama tugasnya termasuk dalam koridor kegiatan jurnalistik, maka wartawan tunduk pada UU Pers No. 40/1999, bukan KUHP.
    Untuk itu, para penyidik perlu hati-hati dalam penerapan aturan hukum jika menghadapi pelaku/tersangka itu adalah wartawan.
    Para penegak hukum juga seharusnya sadar, bahwa tidak ada satu pihak manapun yang dapat menghalang-halangi tugas jurnalistik di lapangan.

  8. gimana dengan uu KIP sekarang pasal 5 disebutkan .apa bila konfirmasi tertulis harus jelas nara sumbernya..apa lagi menyangkut masalah anggaran negara

Leave a comment